GEDUNG REKTORAT UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

HIMA PLS

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

KERJA SAMA DENGAN GEMBIRA LOKA ZOO

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 09 Juni 2013

JURUSAN PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

A. LATAR BELAKANG
Program Studi Pendidikan Luar Sekolah (PLS) pada  awalnya terlahir dengan nama Program Studi Pendidikan Sosial (PS) pada tanggal 19 September 1955, saat ini menjadi salah satu program studi di lingkup Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta, mefokuskan diri pada kajian-kajian di luar sistem persekolahan, merujuk pada Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Secara operasional Program Studi Pendidikan Luar Sekolah diarahkan pada penyiapan tenaga PLS yang berkemampuan mengelola satuan Pendidikan Luar Sekolah, memfasilitasi proses pembelajaran dan memperhatikan warga belajar  dalam berbagai dimensinya, mengarahkan pada kepemilikan dan perkembangan intelegensi, kebutuhan, kebutuhan belajar, ketrampilan belajar, ketrampilan fungsional, ketrampilan wirausaha serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional dan kepribadian masyarakat.

B. VISI dan MISI
VISI:
Jurusan Pendidikan Luar Sekolah yang unggul di tingkat nasional yang berlandaskan ketaqwaan, kemandirian, kecendikiaan, dan berwawasan kebangsaan.
MISI:
1.       Mengembangkan praksis pendidikan luar sekolah yang memberdayakan masyarakat yang berkarakter.
2.       Membelajarkan masyarakat secara berkelanjutan menuju tercspsinya masyarakat belajar yang berlandaskan nilai-nilai ketaqwaan, kemandirian dan responsif terhadap tuntutan masyarakat
3.       Menyelenggarakan pendidikan profesional yang berbasis penelitian

4.       Melaksanakan praktik pembelajaran dalam bidang dan program pendidikan luar sekolah.

C. TUJUAN
Program Studi Pendidikan Luar Sekolah menyelenggarakan pendidikan akademik program srudi S1 Pendidikan Luar Sekolah, menyiapkan tenaga kependidikan luar sekolah yang memiliki kompetensi: 1) Pengelolaan program PLS, 2) Fasilitator pusat kegiatan belajar masyarakat, 3) Pelaku wirausaha sosial dan pemberdayaan masyarakat.

D. BIDANG KEAHLIAN
Mengacu padaKepmendiknas Nomor 232/U/2000, serta SK Mendiknas No. 045/U/2002, mengenai prospek bidang pekerjaanlulusan Program Studi S1 Pendidikan Luar Sekolah, adalah sebagai Pengelola& Pengembangan Program PLS/PNFI serta fasilitator pembelajaran padalembaga-lembaga PLS/PNFI, yang meliputi:
1)      Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
2)      Pendidikan Orang Dewasa
3)      Pendidikan Kepemudaan
4)      Pendidikan Kesetaraan
5)      Pendidikan Keaksaraan
6)      Pendidikan Pemberdayaan Perempuan
7)      Pendidikan Masyarakat dan Pelatihan Kerja

Pendidikan dan Pelatihan yang lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik (akademik, keterampilan-kewirausahaan) sesuai dengan kebutuhan.

PENDAFTARAN
Pendaftaran Mahasiswa baru dilakukan secara bersamaan melalui Seleksi Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) undangan, bidik misi maupun tertulis dan seleksi mandiri (SM) UNY.

TENAGA EDUKATIF
Guna mendukung terlaksananya proses pembelajaran yang bermutu, Progran Studi PLS memiliki tenaga edukatif tetap berjumlah 17 orang, terdiri dari 3 Guru Besar, 5 orang Doktor, 9 orang Magister (dua dosen sedang menempuh program Doktor), 15 Dosen telah tersertifikasi sebagai pendidik, secara lebih rinci tenaga edukatif tersebut adalah:
1.       Prof. Dr. Wuradji, M.S
2.       Prof. Dr. Sodiq Azis Kuntoro, M.Ed
3.       Prof. Dr. Yoyon Suryono, M.S
4.       Sumarno, Ph.D
5.       Dr. Sugito, MA
6.       Dr. Sujarwo, M.Pd
7.       Dr. Puji Yanti Fauziah, M.Pd
8.       Dr. Iis Prasetya, MM
9.       Al. Setya Rohadi, M.Kes (sedang S3)
10.   Entoh Tohani. M.Pd (Sedang S3)
11.   Nur Djazifah ER, M.Si
12.   Mulyadi, M.Pd
13.   S.W. Septiarti, M.Si
14.   RB. Suhartaa, M.Pd
15.   Widyaningsih, M.Si
16.   Hiryanto, M,Si

17.   Lutfi Wibawa, M.Pd

E. FASILITAS PEMBELAJARAN
Fasilitas pendukung kegiatan pembelajaran disediakan oleh Universitas Negeri Yogyakarta / Fakultas Ilmu Pendidikan / Program Studi Pendidikan Luar Sekolah maupun hasil kerja sama dan bantuan dari masyarakat serta sumber lain, meliputi: Ruang Kuliah yang cukup representative, Laboratorium Komputer yang dilengkapi dengan LCD, OHP, Laptop, Handycam, Slide Projektor, Walkman, TV , VCD Player, Mini Compo, Tape Recorder, kamera manual dan digital, untukn meningkatkan skill dan kemampuan profesional yang terkait dengan pengembangan media pembelajaran PLS, Perpustakaan Fakultas / Jurusan ujntuk mendukung kajiak keilmuan PLS.
Dalaam mendukung mempersiapkan lulusannya agar memiliki komopetensi utama sebagai pendidikan luar sekolah maupun beberapa kompetensi pendukung lainny, Program studi PLS telah mempersiapkan fasilitas pendukung berupa Laboratorium di Luar Kampus “Rumah Pasinaon di Gunung Kidul”, dengan mitra beberapa PKBM, LSM, dan SKB, BPKB, BP2KS, P2PAUDNI, Laboratorium Pendidikan Anak Usia Dini yang berlokasi di Kampus UPP II Jalan Bantul Yogyakarta sebagai ajang penelitain dosen maupun mahasiswa, praktik perkuliahan, kegiatan PPL-KKN, pengabdian kepada masyarakat dan kegiatan akademik lainnya, serta berbagai kegiatan kerja sama dengan pihak-pihak terkait.



F. UNIT LAYANAN MASYARAKAT
Program studi Pendidikan Luar Sekolah menyediakan layanan kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan layanan berkaitan dengan kegiatan-kegiatan di bidang pendidikan luar sekolah dan pembelajaran masyarakat, seperti penyuluhan, pelatihan, penelitian, diklat dan sebagainya.

PROSPEK LULUSAN PLS
Lulusan PLS FIP UNY telah bekerja di beberapa instansi pemerintah ( Depdikbud, Dikmas, P2PAUDNI, BPKB, SKB, Dinsos, BKKBN, Penmas, Depnaker dll) dan Swasta (Peneliti, Trainer, Konsultan PLS, Penmas, Pengelola PKBM, LSM, Wirausaha, dll).
Presetasi pengembangan yang pernah diraih hingga saat ini:
1.       Pemenang Program Hibah Kompetisi A-2 tahun 2005-2007
2.       Pendamping PKBM
3.       Pemberantasan Buta Aksara 2008-2010
4.       Kajian Rumah pintar, taman pintar dan komunitas pintar 2010
5.       Efikasi Kebijakan PNFI (2010)
6.       Kajian Aksara Kewirausahaan (2011)
7.       Beberapa penelitian tahun 2011-2012 (Stranas, Hikom, Hibah bersaing)
Untuk informasi lebih lanjut hubungi Program Studi Pendidikan Luar Sekolah Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta Telp. (0274) 586168 psw 369. HP. 08156853559 (Hiryanto), HP. 085647096663 (Sujarwo), 08195009494 (Lutfi Wibawa)

Membelajarkan masyarakat, Memfasilitasi DIKLAT, Pemberdayaan Masyarakat dan berwirausaha Komitmen kami”

Ini adalah salah satu cuplikan video saat kuliah umum dimana Prof. Dr. Sodiq Azis Kuntoro, M.Ed (kiri) dan Hiryanto, M,Si (kanan) sebagai nara sumber



dan ini adalah gambar yang di ambil saat pengenalan tentang 
ke PLS-an. Lutfi Wibawa, M.Pd (kiri) sebagai nara sumber
dan Sodara Fikri Nur Cahyo (kanan) sebagai moderator

Jumat, 31 Mei 2013

Pendidikan Tinggi Bukan Hanya untuk Borjuis Muda


Oleh: Dinda N. Yura (anggota Komite Nasional Pendidikan)
 
Dalam Koran Tempo edisi 19 April 2013, Ade Armando menulis opini berjudul “Gugatan atas UU Pendidikan Tinggi 2012”. Menurut dia, kelompok masyarakat yang berupaya membatalkan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) adalah pihak yang memperjuangkan kenikmatan dan kemudahan bagi orang kaya.
Terhadap tulisannya tersebut, setidaknya ada tiga hal yang ingin saya ungkapkan. Pertama, Ade Armando mengemukakan bahwa selama ini yang menikmati murahnya biaya pendidikan berkualitas adalah kalangan menengah atas. Saya pribadi tidak menolak pendapat beliau. Bagi saya, pendapat itu merupakan cerminan dari persoalan pendidikan di negeri kita. Persoalan bahwa pendidikan tinggi hanya bisa diakses oleh (mayoritas) kalangan menengah ke atas.
Pertanyaan saya, apakah persoalan tidak teraksesnya pendidikan tinggi oleh masyarakat miskin, justru dijawab dengan dilepasnya perguruan tinggi negeri menjadi badan hukum, dan membebankan biaya yang besar kepada mahasiswa?
Kedua, Ade Armando juga mengambil contoh UI, yang menurutnya saat ini dinikmati kalangan borjuis yang memenuhi lahan parkir kampus dengan mobil-mobil mewahnya, dan tinggal di apartemen-apartemen yang mahal. Pernyataan itu juga sama sekali tak saya sanggah. Karena itulah kenyataan yang saya lihat pula, sejak UI menjadi badan hukum milik negara (BHMN). Sebuah konsep tata kelola universitas yang sama dengan perguruan tinggi badan hukum di dalam UU Dikti.
Membaca tulisan Ade Armando, sepertinya dia lupa bahwa kondisi UI saat ini adalah UI sebagai badan hukum. Justru karena pembadanhukuman UI-lah pembangunan fisik menjadi tujuan utama. Perpustakaan (yang katanya) megah dibangun, sementara jurnal internasional daring tidak bisa diakses. Pembangunan-pembangunan fisik menjadi prioritas ketika rektor sebagai direktur (apabila kita menggunakan analogi PT), memiliki kewenangan penuh untuk menentukan kebijakannya. Hasilnya, bisa ditebak. Kenaikan biaya secara signifikan, dan perekrutan mahasiswa secara besar-besaran.
BHMN menjadi cerminan bagaimana masa depan pendidikan tinggi di bawah rezim UU Dikti. Seharusnya, dosen, profesor, dan rektor yang saat ini mengajar dan bertugas di BHMN turut menjadi saksi terdekat bagaimana akses masyarakat semakin terhalang oleh pembadanhukuman PTN tersebut.
Melalui otonomi kebijakan, UI menghasilkan berbagai kebijakan pendanaan yang membebankan mahasiswa, seperti admission fee (2004), dengan jumlah 5-25 juta, biaya operasional (2008) senilai Rp 5-7,5 juta, ujian mandiri (2009) dengan pendaftaran menggunakan sistem daring, dan jalur non-reguler, dengan biaya untuk dana pembangunan berkisar Rp 11-45 juta, dan biaya operasional Rp 6,5-10,5 juta per semester.
Dengan kebijakan seperti di atas, menjadi “wajar” apabila saat ini yang menikmati UI adalah “kalangan borjuis yang memenuhi lahan parkir kampus dengan mobil-mobil mewahnya, dan tinggal di apartemen-apartemen yang mahal”.
Hal ketiga yang ingin saya kemukakan, bahwa UI dan kampus-kampus BHMN lainnya merupakan perguruan tinggi negeri. Sejatinya, institusi-institusi tersebut merupakan media pemerintah dalam memenuhi hak atas pendidikan warga negara. Saya tak pernah bosan mengutip Pasal 31 (1) UUD 1945, bahwa setiap orang berhak atas pendidikan. Tidak pernah bosan juga saya menyebutkan Pasal 13, khususnya angka 1 dan 2 Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob), yang sudah diratifikasi Indonesia pada 2005. Dalam Kovenan tersebut, jelas disebutkan bahwa pendidikan merupakan hak asasi manusia, yang pelaksanaannya merupakan kewajiban dari negara.
Secara lebih spesifik, untuk perguruan tinggi dapat kita lihat dari Kovenan Ekosob Pasal 13, 2.e. Di sana jelas dicantumkan perguruan tinggi harus dijamin ketersediaan dan keterjangkauannya untuk semua orang, dengan pengadaan pendidikan tinggi yang cuma-cuma secara bertahap. Keberlakuan Kovenan Ekosob ini adalah sama dan setara dengan undang-undang, sejak diratifikasi melalui UU Nomor 11 Tahun 2005. Artinya, semua pasal yang ada di Kovenan Ekosob bersifat mengikat dan harus dipatuhi layaknya undang-undang yang dibuat DPR dan presiden.
Dengan demikian, tugas perguruan tinggi negeri tidak sekadar memajukan institusinya sendiri, tapi juga menjadi bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Bangsa yang dimaksud bukan hanya mahasiswa-mahasiswa yang ada di dalam lembaga pendidikan tersebut, tapi juga masyarakat yang aksesnya terhambat, entah oleh keterbatasan ekonomi, geografis, gender, dan lain sebagainya. Jadi, kalau kita sepakat bahwa hari ini kita melihat pendidikan tinggi hanya bisa diakses oleh masyarakat menengah ke atas, tugas kita adalah menjadikan pendidikan tinggi bisa dinikmati oleh seluruh warga negara, dan bukannya mendukung bahwa pendidikan tinggi hanya untuk yang kaya. Tugas yang sudah sepatutnya ditanggung oleh negara, dan dijalankan melalui perguruan tinggi negeri yang berkualitas dan terjangkau.
* Artikel ini pernah dipublikasikan dalam rubrik Opini TEMPO, tanggal 26 April 2013.

Sistem Kerja Kontrak, Outsourcing, dan Praktik Penghancuran Solidaritas Buruh


Oleh: Roma bin Pi’i

Seperti yang sudah umumnya diketahui, bahwa sistem kerja kontrak dan outsourcing sangat berperan dalam melemahkan gerakan buruh di Indonesia. Buruh/pekerja kontrak dan outsourcing, dengan sendirinya merasa posisinya lemah dihadapan pengusaha, karena status kerjanya yang tidak tetap tersebut tersebut. Ancaman pemutusan/pembatalan kontrak kerja secara sepihak dari pengusaha, menjadi hantu paling menakutkan bagi para buruh/pekerja kontrak dan outsourcing.
Ketakutan itu diperparah lagi karena biasanya buruh kontrak, khususnya outsourcing, tidak mendapatkan pembelaan dari serikat buruh/pekerja. Buruh kontrak kerap kali merasakan keanggotaannya di serikat buruh, hanya saat membayar uang COS (iuran anggota -red). Namun ketika berkasus, misalnya pemutusan kontrak sepihak, seringkali mereka tidak mendapatkan pembelaan. Sementara itu, buruh outsourcing umumnya tidak diajak atau diperbolehkan menjadi anggota serikat, baik oleh perusahaan, atau malah pengurus serikat buruh itu sendiri.
Namun tidak hanya itu, sistem kerja kontrak dan outsourcing ternyata berpengaruh secara lebih dalam lagi dalam memperlemah gerakan buruh. Hal tersebut dapat ditemukan, misalnya, pada hancurnya semangat perkawanan atau kolektivitas diantara sesama buruh. Kejadian yang akan diceritakan berikut ini, akan menggambarkan bagaimana proses penghancuran itu berjalan. Sebuah kejadian yang mungkin biasa saja bagi para buruh pada umumnya, namun tanpa disadari dampaknya adalah melemahkan gerakan di sektornya.
Sebut saja Dodi yang mengalami ini. Dodi bekerja di sebuah perusahaan (besar) milik mantan Wakil Presiden RI, yang berlokasi di Cileungsi, Kabupaten Bogor. Dodi adalah pekerja outsourcing yang sudah bekerja selama lebih dari setahun. Meski berstatus outsourcing, Dodi bekerja di bagian inti dalam proses produksi pabrik. Artinya, ini menyalahi ketentuan mengenai praktik outsourcing dalam Undang-Undang No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Perusahaan (CV) jasa outsourcing-nya sendiri tidak lain adalah milik pensiunan-pensiunan pimpinan (manajemen) pabrik.
Di bagian produksi tempat Dodi bekerja, terdapat pula teman-temannya yang berstatus outsourcing pula dan juga ada yang kontrak. Menjadi buruh outsourcing, menurutnya, seperti menjadi pekerja asing di pabrik. Seolah-olah terdapat jurang pemisah dengan buruh lain yang berstatus kontrak dan tetap. Jurang pemisah tersebut adalah lingkungan atau pergaulan yang berbeda, akibat adanya perbedaan fasilitas-fasilitas yang diberikan oleh perusahaan. Misalnya, buruh kontrak dan tetap makan di kantin, sementara outsourcing tidak; buruh kontrak dan tetap mendapatkan susu setiap bulan, sementara buruh outsourcing tidak.
Namun kejadian yang dialaminya baru-baru ini, berhasil menghancurkan kolektivitas bahkan diantara buruh outsourcing sendiri. Bermula dari terdapatnya kabar peralihan status dari buruh outsourcing menjadi kontrak di pabrik tempat Dodi bekerja. Pada suatu ketika, seorang teman memberi saran: “Kalau mau diangkat jadi kontrak, kita harus rajin kerja kalau ada bos, alias cari muka.”
Kabar yang beredar dikalangan buruh outsourcing ini, ternyata direspon dengan cepat oleh yang lainnya. Seketika sikap teman-teman Dodi berubah, lebih-lebih ketika ada bos atau pimpinan perusahaan yang datang. Malah, atasan Dodi (yang statusnya outsourcing pula) bersikap agak berlebihan, yaitu kerap kali menegur dengan nada agak memarahi bawahannya, saat ada pimpinan perusahaan mengontrol pekerjaan mereka. Padahal menurutnya, sebelum ada kabar peralihan status outsourcing menjadi kontrak, semangat kolektivitas di bagian kerjanya sangat terjaga. Namun kolektivitas itu kini hilang, digantikan sikap menonjolkan diri masing-masing.
Pangkal dari masalah yang dialami Dodi dan teman-temannya tersebut, adalah pelanggaran yang dilakukan perusahaan dalam merekrut serta mempekerjakan buruh kontrak dan outsourcing di bagian produksi inti, dimana jelas-jelas terlarang dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Semestinya yang bekerja di bagian produksi inti tersebut adalah buruh berstatus tetap. Kemudian pelanggaran ini menyebabkan masalah-masalah lainnya bagi para buruh, seperti yang diungkapkan di atas.
Proses perubahan status kerja (buruh outsourcing menjadi buruh kontrak, atau buruh kontrak menjadi buruh tetap) yang menimbulkan perselisihan diantara buruh ini, mungkin saja memang sengaja dirancang oleh perusahaan, demi keperluan menghilangkan semangat kolektivitas para buruh. Sebab, hilangnya kolektivitas diantara sesama buruh akan berdampak pada hancurnya solidaritas mereka. Dan hancurnya solidaritas sesama buruh adalah syarat utama untuk memperlemah gerakan buruh.
Mungkin peristiwa di atas, terjadi pula di pabrik-pabrik dan daerah-daerah lainnya. Lantas, siapa yang bertanggung jawab atas ini semua? Pertama adalah negara, yang tidak mau menegakan hukum serta tidak berpihak pada kepentingan rakyat pekerja (dalam hal ini buruh). Kedua, jelas pengusaha/perusahaan, yang secara sadar melanggar hak-hak buruhnya.
Selain wajib melawan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pengusaha/perusahaan, serta menuntut keadilan pada negara, mungkin ada hal-hal lain yang perlu dilakukan. Misalnya, serikat buruh/pekerja harus introspeksi, apakah fungsinya sebagai alat perjuangan kaum buruh sudah berjalan sebagai mana mestinya.
Sementara itu, bagi buruh kontrak atau outsourcing, haruslah aktif berserikat atau mendirikannya bila belum ada. Jika serikat buruh yang ada, tidak memberikan pembelaan/advokasi mengenai hak-hak yang dilanggar oleh perusahaan, maka perbanyaklah diskusi atau sharing dengan serikat buruh lain. Sebab pada kenyataannya, memang ada serikat buruh yang hanya kepanjangan tangan pengusaha dan anti terhadap kepentingan buruh/pekerja atau anggotanya. Selain itu, ada pula serikat buruh yang banyak aktivitas dan programnya, serta membuat anggotanya merasakan atmosfer berserikat, namun sesungguhnya abai dalam perjuangan hak-hak dan kepentingan anggotanya.

Buruh dan Monologisme Korporasi


Siti Marwiyah   Dekan Fakultas Hukum Universitas Dr Soetomo Surabaya


Salah satu elemen sosial berlabel miskin adalah buruh (pekerja), yang memang berasal dari kalangan akar rumput (the grassroot). Mereka ini tersebar di perusahaan-perusahaan untuk menjalankan pekerjaan di level standar minimum pengupahan regional (daerah), bahkan kurang dari ketentuan pengupahan yang ditentukah oleh pemerintah. Mereka menerima upah yang tidak sebanding dengan kebutuhan atau kepentingan hidup sehari-harinya.
Memang, jika direlasikan dengan realitas tuntutan aneka kebutuhan hidup yang serba mencekik, seperti biaya sekolah, biaya pengobatan, kebutuhan sandang, pangan, dan papan yang semakin 'eksklusif', maka posisi buruh semakin terhimpit dan termarjinalkan. Pasalnya, apa yang diperoleh mereka dari perusahaan (korporasi) yang bersifat 'sekedarnya', rasanya mustahil bisa dijadikan modal oleh buruh untuk menjawab kebutuhan tersebut.
Semestinya, yang ikut bertanggung jawab secara privilitas dan fundamentalitas adalah perusahaan. Bagaimanapun perusahaan bisa menjadi besar, pemilik dan pemegang sahamnya dapat keuntungan besar, hal ini tidak lepas dari peran para buruhnya. Saat buruh 'mengeksploitasi' tenaga dan pikirannya untuk menjaga keberlanjutan dan mengembangkan perusahaan, sebenarnya mereka sudah menjadi pilar yang menunaikan kewajibannya dengan benar.
Alangkah damai, sejahtera, dan bahagianya buruh yang kehidupan kesehariannya digaransi oleh korporasinya? Mereka (buruh) tidak akan sampai terjerembab dalam kemiskinan absolut atau kehilangan pekerjaan, yang berarti masih bisa menikmati upah dan atmosfer kedamaian, manakala perusahaan memperlakukan buruh sebagai saudara atau mitra yang dimanusiakan.
Sayangnya, pimpinan perusahaan seringkali masih melihat buruh sebagai 'warga kelas dua' yang paling membutuhkan dirinya, sehingga ketika korporasi mengalami kesulitan mengembangkan atau menjaga keberlanjutan keuntungan ekonominya, serta-merta buruh yang dijadikan objek pertaruhannya. Buruh dikorbankan dengan paradigma pragmatis hegemonitas oleh perusahaan, bahwa keberadaan buruh sudah tidak lagi menguntungkan, sehingga harus ditumbalkan atau dimarjinalkan. PHK atau kebijakan rasionalisasi dengan berbagai dalih, misalnya, diajukan oleh perusahaan sebagai 'vonis' mematikannya.
Kebijakan tak populis yang dilakukan oleh seorang pemimpin strategis korporasi itu, seperti dinyatakan L Wochaves, dapat berdampak makro bagi kehidupan masyarakat dan bangsa, khususnya yang paling berdekatan. Tidak sedikit hak-hak sakral dan fundamental buruh bisa hancur di tangan pemimpin berwatak atau bergaya monologis (mengutamakan kepentingan atau kesenangan diri sendiri), tetapi masa depannya juga serba tidak pasti. Buruh yang 'didehumanisasi' (ditelantarkan) oleh perusahaannya atau diabaikan nasibnya oleh majikan, berarti harus ditempatkan sebagai kumpulan manusia yang digagalkan sebagai 'manusia' oleh perusahaan atau komunitas pemilik modal.
Mereka (buruh) kesulitan mendapatkan hak kesejahteraan akibat sepak terjang elemen strategis korporasi yang menempatkan dirinya sekedar menjadi 'pencari' dan pemburu nafkah (upah), dan bukan sebagai elemen fundamental yang menentukan keberlanjutan hidup dan progresivitas korporasi. Jika korporasinya mengemas sikap monologis seperti itu, rasanya orang miskin seperti buruh di negeri ini akan tetap berada dalam 'lingkaran setan' ketidakberdayaan atau cengkeraman keterpurukan, ketidaksejahteraan, dan ketidakmanusiawiannya.
Mereka akan kesulitan menemukan jalan yang memanusiakan atau menyejahterakan dirinya akibat tangan humanistik, yang seharusnya menyejahterakannya, justru lebih memilih lebih mengutamakan keselamatan dirinya sendiri. Dhus, elemen strategis korporasi wajib menggunakan nalar cerdas dan humaniatasnya dalam membaca kondisi riil kehidupan buruh, pasalnya puluhan juta orang miskin, yang di dalamnya ada elemen buruh, masih kesulitan membebaskan dirinya dari 'jajahan' dan 'rajaman' kefakiran atau kepapan ekonomi.
Mereka (buruh) yang seharusnya dimanusiakan dan diberikan atmosfer oleh korporasi untuk menjadi mitra atau sesama yang hidup berkelayakan, kini benar-benar sedang atau telah sekian lama dihadapkan pada realitas memilukan.
Laporan Bank Dunia terbaru menunjukkan, sebagian besar penduduk miskin di Asia Tenggara tinggal di Indonesia. Lebih dari 110 juta orang Indonesia hidup dengan penghasilan kurang dari 2 dolar AS atau kurang dari Rp 19.000 per hari. Jumlah orang sebanyak itu sama dengan total penduduk Malaysia ditambah seluruh penduduk Vietnam dan Kamboja. (Halim Imawan, 2011)
Laporan Bank Dunia tersebut seharusnya menjadi bahan refleksi oleh korporasi, bahwa penderitaan yang dialami oleh buruh (orang miskin), merupakan realitas yang menjadi proyeksi kewajiban berbasis kemanusiaan yang harus diwujudkannya. Buruh menempati ranah mengenaskan atau menyejahterakan, tak bisa dilepaskan dari kebijakan makro perusahaan. Ketika krisis ekonomi, misalnya, dikalkukasi sebagai ancaman serius keberlanjutan hidup korporasi maka korporasi akan berusaha keras untuk tidak tergesa-gesa membebankan kesulitannya kepada buruh.
Memang, selama ini mencuat asumsi bahwa negara sedang kehilangan keberdayaan dan kecerdasannya saat berhadapan dengan korporasi besar, meski korporasi ini jelas-jelas menciptakan petaka nasional maupun disinyalir sering memolitisasi hak-hak buruh. negara menjadi ciut nyali saat berhadapan dengannya akibat politik 'kedermawanan' yang diduga mengalir padanya. Inilah yang pernah diingatkan Aristoteles, bahwa semakin tinggi penghargaan manusia terhadap kekayaan, maka semakin rendahlah penghargaan manusia terhadap nilai-nilai kemanusiaan, kejujuran, keadilan, dan kepatutan.

Dasar Perjuangan Gerakan Mahasiswa


"...Kepada Pewaris Peradaban,
yang telah menggoreskan,
sebuah catatan kebanggaan,
di lembar sejarah manusia.."
-Syair Totalitas Perjuangan

Pewaris peradaban, catatan kebanggaan yang tertulis dalam lembar sejarah, begitulah kiranya mahasiswa berperan. Perjuangan melalui Gerakan Mahasiswa semakin bervariasi dan dukungan dari berbagai pihakpun datang, mulai pemerintah, masyarakat, civitas akademika, termasuk mahasiswa itu sendiri.

Dalam proses yang begitu panjang, Dasar Perjuangan Gerakan Mahasiswa perlu ditegaskan. Hal ini penting agar mahasiswa tidak bimbang dan linglung ketika ditanya, "Untuk Siapa dan Apa kalian bergerak? Apa yang kalian perjuangkan?" Dan ketika pertanyaan tersebut dilontarkan, kiranya jawaban yang tepat telah dijargonkan kawan-kawan mahasiswa ITB.

"Untuk Tuhan, Bangsa, dan Almamater". Begitu mendalam jargon perjuangan itu dan perlu diresapi bersama. Penegasan Tuhan sebagai tujuan utama dalam perjuangan menegaskan kita bahwasannya bangsa kita adalah bangsa yang religius, menyandarkan segalanya pada Tuhan (setelah berusaha). Hal ini pun dibarengi dengan perjuangan untuk Bangsa dan Almamater, sebagai wujud cinta terhadap tanah air dan perhatian perjuangan tanpa menghilangkan nilai-nilai akademis-intelektual untuk almamater.

"Demi mempersembahkan jiwa dan raga,
untuk negeri tercinta....untuk negeri tercinta"

Untuk Allah (Tuhan), Indonesia (Bangsa), dan Almamater.

Rabu, 22 Mei 2013

hari itu kami melihat sebuah kecantikan yang berbeda, kecantikan yang jauh dari keterpaksaan. sebuah kecantikan yang timbul dari keberanian . kecantikan yang berbeda dari yang biasanya. mereka tidak peduli dengan kecantikan semu yang mungkin akan luntur saat mereka membulatkan tekadnya tapi ketidak pedulian dan tekad itulah yang membuat mereka semakin cantik. segala perjuangn, jeri payah, luka, kelelahan mengiringi setiap perjalanan mereka untuk menjadi cantik, ketahuilah bahwa kecantikan bukan hanya dari paras yang sempurna karena hari itu kami melihat kecantikan yang jauh dari sempurna tapi sangat indah melebihi kesempurnaan itu sendiri.

dan inilah wujud kecantikan itu






















tetap semangat dan tetaplah cantik...!!!