Jumat, 31 Mei 2013

Sistem Kerja Kontrak, Outsourcing, dan Praktik Penghancuran Solidaritas Buruh


Oleh: Roma bin Pi’i

Seperti yang sudah umumnya diketahui, bahwa sistem kerja kontrak dan outsourcing sangat berperan dalam melemahkan gerakan buruh di Indonesia. Buruh/pekerja kontrak dan outsourcing, dengan sendirinya merasa posisinya lemah dihadapan pengusaha, karena status kerjanya yang tidak tetap tersebut tersebut. Ancaman pemutusan/pembatalan kontrak kerja secara sepihak dari pengusaha, menjadi hantu paling menakutkan bagi para buruh/pekerja kontrak dan outsourcing.
Ketakutan itu diperparah lagi karena biasanya buruh kontrak, khususnya outsourcing, tidak mendapatkan pembelaan dari serikat buruh/pekerja. Buruh kontrak kerap kali merasakan keanggotaannya di serikat buruh, hanya saat membayar uang COS (iuran anggota -red). Namun ketika berkasus, misalnya pemutusan kontrak sepihak, seringkali mereka tidak mendapatkan pembelaan. Sementara itu, buruh outsourcing umumnya tidak diajak atau diperbolehkan menjadi anggota serikat, baik oleh perusahaan, atau malah pengurus serikat buruh itu sendiri.
Namun tidak hanya itu, sistem kerja kontrak dan outsourcing ternyata berpengaruh secara lebih dalam lagi dalam memperlemah gerakan buruh. Hal tersebut dapat ditemukan, misalnya, pada hancurnya semangat perkawanan atau kolektivitas diantara sesama buruh. Kejadian yang akan diceritakan berikut ini, akan menggambarkan bagaimana proses penghancuran itu berjalan. Sebuah kejadian yang mungkin biasa saja bagi para buruh pada umumnya, namun tanpa disadari dampaknya adalah melemahkan gerakan di sektornya.
Sebut saja Dodi yang mengalami ini. Dodi bekerja di sebuah perusahaan (besar) milik mantan Wakil Presiden RI, yang berlokasi di Cileungsi, Kabupaten Bogor. Dodi adalah pekerja outsourcing yang sudah bekerja selama lebih dari setahun. Meski berstatus outsourcing, Dodi bekerja di bagian inti dalam proses produksi pabrik. Artinya, ini menyalahi ketentuan mengenai praktik outsourcing dalam Undang-Undang No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Perusahaan (CV) jasa outsourcing-nya sendiri tidak lain adalah milik pensiunan-pensiunan pimpinan (manajemen) pabrik.
Di bagian produksi tempat Dodi bekerja, terdapat pula teman-temannya yang berstatus outsourcing pula dan juga ada yang kontrak. Menjadi buruh outsourcing, menurutnya, seperti menjadi pekerja asing di pabrik. Seolah-olah terdapat jurang pemisah dengan buruh lain yang berstatus kontrak dan tetap. Jurang pemisah tersebut adalah lingkungan atau pergaulan yang berbeda, akibat adanya perbedaan fasilitas-fasilitas yang diberikan oleh perusahaan. Misalnya, buruh kontrak dan tetap makan di kantin, sementara outsourcing tidak; buruh kontrak dan tetap mendapatkan susu setiap bulan, sementara buruh outsourcing tidak.
Namun kejadian yang dialaminya baru-baru ini, berhasil menghancurkan kolektivitas bahkan diantara buruh outsourcing sendiri. Bermula dari terdapatnya kabar peralihan status dari buruh outsourcing menjadi kontrak di pabrik tempat Dodi bekerja. Pada suatu ketika, seorang teman memberi saran: “Kalau mau diangkat jadi kontrak, kita harus rajin kerja kalau ada bos, alias cari muka.”
Kabar yang beredar dikalangan buruh outsourcing ini, ternyata direspon dengan cepat oleh yang lainnya. Seketika sikap teman-teman Dodi berubah, lebih-lebih ketika ada bos atau pimpinan perusahaan yang datang. Malah, atasan Dodi (yang statusnya outsourcing pula) bersikap agak berlebihan, yaitu kerap kali menegur dengan nada agak memarahi bawahannya, saat ada pimpinan perusahaan mengontrol pekerjaan mereka. Padahal menurutnya, sebelum ada kabar peralihan status outsourcing menjadi kontrak, semangat kolektivitas di bagian kerjanya sangat terjaga. Namun kolektivitas itu kini hilang, digantikan sikap menonjolkan diri masing-masing.
Pangkal dari masalah yang dialami Dodi dan teman-temannya tersebut, adalah pelanggaran yang dilakukan perusahaan dalam merekrut serta mempekerjakan buruh kontrak dan outsourcing di bagian produksi inti, dimana jelas-jelas terlarang dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Semestinya yang bekerja di bagian produksi inti tersebut adalah buruh berstatus tetap. Kemudian pelanggaran ini menyebabkan masalah-masalah lainnya bagi para buruh, seperti yang diungkapkan di atas.
Proses perubahan status kerja (buruh outsourcing menjadi buruh kontrak, atau buruh kontrak menjadi buruh tetap) yang menimbulkan perselisihan diantara buruh ini, mungkin saja memang sengaja dirancang oleh perusahaan, demi keperluan menghilangkan semangat kolektivitas para buruh. Sebab, hilangnya kolektivitas diantara sesama buruh akan berdampak pada hancurnya solidaritas mereka. Dan hancurnya solidaritas sesama buruh adalah syarat utama untuk memperlemah gerakan buruh.
Mungkin peristiwa di atas, terjadi pula di pabrik-pabrik dan daerah-daerah lainnya. Lantas, siapa yang bertanggung jawab atas ini semua? Pertama adalah negara, yang tidak mau menegakan hukum serta tidak berpihak pada kepentingan rakyat pekerja (dalam hal ini buruh). Kedua, jelas pengusaha/perusahaan, yang secara sadar melanggar hak-hak buruhnya.
Selain wajib melawan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pengusaha/perusahaan, serta menuntut keadilan pada negara, mungkin ada hal-hal lain yang perlu dilakukan. Misalnya, serikat buruh/pekerja harus introspeksi, apakah fungsinya sebagai alat perjuangan kaum buruh sudah berjalan sebagai mana mestinya.
Sementara itu, bagi buruh kontrak atau outsourcing, haruslah aktif berserikat atau mendirikannya bila belum ada. Jika serikat buruh yang ada, tidak memberikan pembelaan/advokasi mengenai hak-hak yang dilanggar oleh perusahaan, maka perbanyaklah diskusi atau sharing dengan serikat buruh lain. Sebab pada kenyataannya, memang ada serikat buruh yang hanya kepanjangan tangan pengusaha dan anti terhadap kepentingan buruh/pekerja atau anggotanya. Selain itu, ada pula serikat buruh yang banyak aktivitas dan programnya, serta membuat anggotanya merasakan atmosfer berserikat, namun sesungguhnya abai dalam perjuangan hak-hak dan kepentingan anggotanya.

0 komentar:

Posting Komentar