Oleh: Roma bin Pi’i
Seperti yang sudah umumnya diketahui, bahwa sistem kerja kontrak dan
outsourcing sangat berperan dalam melemahkan gerakan buruh di Indonesia.
Buruh/pekerja kontrak dan outsourcing, dengan sendirinya merasa
posisinya lemah dihadapan pengusaha, karena status kerjanya yang tidak
tetap tersebut tersebut. Ancaman pemutusan/pembatalan kontrak kerja
secara sepihak dari pengusaha, menjadi hantu paling menakutkan bagi para
buruh/pekerja kontrak dan outsourcing.
Ketakutan itu diperparah lagi karena biasanya buruh kontrak,
khususnya outsourcing, tidak mendapatkan pembelaan dari serikat
buruh/pekerja. Buruh kontrak kerap kali merasakan keanggotaannya di
serikat buruh, hanya saat membayar uang COS (iuran anggota -red). Namun
ketika berkasus, misalnya pemutusan kontrak sepihak, seringkali mereka
tidak mendapatkan pembelaan. Sementara itu, buruh outsourcing umumnya
tidak diajak atau diperbolehkan menjadi anggota serikat, baik oleh
perusahaan, atau malah pengurus serikat buruh itu sendiri.
Namun tidak hanya itu, sistem kerja kontrak dan outsourcing ternyata
berpengaruh secara lebih dalam lagi dalam memperlemah gerakan buruh. Hal
tersebut dapat ditemukan, misalnya, pada hancurnya semangat perkawanan
atau kolektivitas diantara sesama buruh. Kejadian yang akan diceritakan
berikut ini, akan menggambarkan bagaimana proses penghancuran itu
berjalan. Sebuah kejadian yang mungkin biasa saja bagi para buruh pada
umumnya, namun tanpa disadari dampaknya adalah melemahkan gerakan di
sektornya.
Sebut saja Dodi yang mengalami ini. Dodi bekerja di sebuah perusahaan
(besar) milik mantan Wakil Presiden RI, yang berlokasi di Cileungsi,
Kabupaten Bogor. Dodi adalah pekerja outsourcing yang sudah bekerja
selama lebih dari setahun. Meski berstatus outsourcing, Dodi bekerja di
bagian inti dalam proses produksi pabrik. Artinya, ini menyalahi
ketentuan mengenai praktik outsourcing dalam Undang-Undang No. 13/2003
tentang Ketenagakerjaan. Perusahaan (CV) jasa outsourcing-nya sendiri
tidak lain adalah milik pensiunan-pensiunan pimpinan (manajemen) pabrik.
Di bagian produksi tempat Dodi bekerja, terdapat pula teman-temannya
yang berstatus outsourcing pula dan juga ada yang kontrak. Menjadi buruh
outsourcing, menurutnya, seperti menjadi pekerja asing di pabrik.
Seolah-olah terdapat jurang pemisah dengan buruh lain yang berstatus
kontrak dan tetap. Jurang pemisah tersebut adalah lingkungan atau
pergaulan yang berbeda, akibat adanya perbedaan fasilitas-fasilitas yang
diberikan oleh perusahaan. Misalnya, buruh kontrak dan tetap makan di
kantin, sementara outsourcing tidak; buruh kontrak dan tetap mendapatkan
susu setiap bulan, sementara buruh outsourcing tidak.
Namun kejadian yang dialaminya baru-baru ini, berhasil menghancurkan
kolektivitas bahkan diantara buruh outsourcing sendiri. Bermula dari
terdapatnya kabar peralihan status dari buruh outsourcing menjadi
kontrak di pabrik tempat Dodi bekerja. Pada suatu ketika, seorang teman
memberi saran: “Kalau mau diangkat jadi kontrak, kita harus rajin kerja
kalau ada bos, alias cari muka.”
Kabar yang beredar dikalangan buruh outsourcing ini, ternyata
direspon dengan cepat oleh yang lainnya. Seketika sikap teman-teman Dodi
berubah, lebih-lebih ketika ada bos atau pimpinan perusahaan yang
datang. Malah, atasan Dodi (yang statusnya outsourcing pula) bersikap
agak berlebihan, yaitu kerap kali menegur dengan nada agak memarahi
bawahannya, saat ada pimpinan perusahaan mengontrol pekerjaan mereka.
Padahal menurutnya, sebelum ada kabar peralihan status outsourcing
menjadi kontrak, semangat kolektivitas di bagian kerjanya sangat
terjaga. Namun kolektivitas itu kini hilang, digantikan sikap
menonjolkan diri masing-masing.
Pangkal dari masalah yang dialami Dodi dan teman-temannya tersebut,
adalah pelanggaran yang dilakukan perusahaan dalam merekrut serta
mempekerjakan buruh kontrak dan outsourcing di bagian produksi inti,
dimana jelas-jelas terlarang dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Semestinya yang bekerja di bagian produksi inti tersebut adalah buruh
berstatus tetap. Kemudian pelanggaran ini menyebabkan masalah-masalah
lainnya bagi para buruh, seperti yang diungkapkan di atas.
Proses perubahan status kerja (buruh outsourcing menjadi buruh
kontrak, atau buruh kontrak menjadi buruh tetap) yang menimbulkan
perselisihan diantara buruh ini, mungkin saja memang sengaja dirancang
oleh perusahaan, demi keperluan menghilangkan semangat kolektivitas para
buruh. Sebab, hilangnya kolektivitas diantara sesama buruh akan
berdampak pada hancurnya solidaritas mereka. Dan hancurnya solidaritas
sesama buruh adalah syarat utama untuk memperlemah gerakan buruh.
Mungkin peristiwa di atas, terjadi pula di pabrik-pabrik dan
daerah-daerah lainnya. Lantas, siapa yang bertanggung jawab atas ini
semua? Pertama adalah negara, yang tidak mau menegakan hukum serta tidak
berpihak pada kepentingan rakyat pekerja (dalam hal ini buruh). Kedua,
jelas pengusaha/perusahaan, yang secara sadar melanggar hak-hak
buruhnya.
Selain wajib melawan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan
pengusaha/perusahaan, serta menuntut keadilan pada negara, mungkin ada
hal-hal lain yang perlu dilakukan. Misalnya, serikat buruh/pekerja harus
introspeksi, apakah fungsinya sebagai alat perjuangan kaum buruh sudah
berjalan sebagai mana mestinya.
Sementara itu, bagi buruh kontrak atau outsourcing, haruslah aktif
berserikat atau mendirikannya bila belum ada. Jika serikat buruh yang
ada, tidak memberikan pembelaan/advokasi mengenai hak-hak yang dilanggar
oleh perusahaan, maka perbanyaklah diskusi atau sharing dengan serikat
buruh lain. Sebab pada kenyataannya, memang ada serikat buruh yang hanya
kepanjangan tangan pengusaha dan anti terhadap kepentingan
buruh/pekerja atau anggotanya. Selain itu, ada pula serikat buruh yang
banyak aktivitas dan programnya, serta membuat anggotanya merasakan
atmosfer berserikat, namun sesungguhnya abai dalam perjuangan hak-hak
dan kepentingan anggotanya.
0 komentar:
Posting Komentar