Siti Marwiyah ; Dekan Fakultas Hukum Universitas Dr Soetomo Surabaya
Salah satu elemen sosial berlabel
miskin adalah buruh (pekerja), yang memang berasal dari kalangan akar rumput (the grassroot). Mereka ini tersebar di
perusahaan-perusahaan untuk menjalankan pekerjaan di level standar minimum
pengupahan regional (daerah), bahkan kurang dari ketentuan pengupahan yang
ditentukah oleh pemerintah. Mereka menerima upah yang tidak sebanding dengan
kebutuhan atau kepentingan hidup sehari-harinya.
Memang, jika direlasikan dengan
realitas tuntutan aneka kebutuhan hidup yang serba mencekik, seperti biaya
sekolah, biaya pengobatan, kebutuhan sandang, pangan, dan papan yang semakin
'eksklusif', maka posisi buruh semakin terhimpit dan termarjinalkan. Pasalnya,
apa yang diperoleh mereka dari perusahaan (korporasi) yang bersifat
'sekedarnya', rasanya mustahil bisa dijadikan modal oleh buruh untuk menjawab
kebutuhan tersebut.
Semestinya, yang ikut bertanggung
jawab secara privilitas dan fundamentalitas adalah perusahaan. Bagaimanapun
perusahaan bisa menjadi besar, pemilik dan pemegang sahamnya dapat keuntungan
besar, hal ini tidak lepas dari peran para buruhnya. Saat buruh
'mengeksploitasi' tenaga dan pikirannya untuk menjaga keberlanjutan dan
mengembangkan perusahaan, sebenarnya mereka sudah menjadi pilar yang menunaikan
kewajibannya dengan benar.
Alangkah damai, sejahtera, dan
bahagianya buruh yang kehidupan kesehariannya digaransi oleh korporasinya?
Mereka (buruh) tidak akan sampai terjerembab dalam kemiskinan absolut atau
kehilangan pekerjaan, yang berarti masih bisa menikmati upah dan atmosfer
kedamaian, manakala perusahaan memperlakukan buruh sebagai saudara atau mitra
yang dimanusiakan.
Sayangnya, pimpinan perusahaan
seringkali masih melihat buruh sebagai 'warga kelas dua' yang paling
membutuhkan dirinya, sehingga ketika korporasi mengalami kesulitan
mengembangkan atau menjaga keberlanjutan keuntungan ekonominya, serta-merta
buruh yang dijadikan objek pertaruhannya. Buruh dikorbankan dengan paradigma
pragmatis hegemonitas oleh perusahaan, bahwa keberadaan buruh sudah tidak lagi
menguntungkan, sehingga harus ditumbalkan atau dimarjinalkan. PHK atau
kebijakan rasionalisasi dengan berbagai dalih, misalnya, diajukan oleh
perusahaan sebagai 'vonis' mematikannya.
Kebijakan tak populis yang
dilakukan oleh seorang pemimpin strategis korporasi itu, seperti dinyatakan L
Wochaves, dapat berdampak makro bagi kehidupan masyarakat dan bangsa, khususnya
yang paling berdekatan. Tidak sedikit hak-hak sakral dan fundamental buruh bisa
hancur di tangan pemimpin berwatak atau bergaya monologis (mengutamakan
kepentingan atau kesenangan diri sendiri), tetapi masa depannya juga serba
tidak pasti. Buruh yang 'didehumanisasi' (ditelantarkan) oleh perusahaannya
atau diabaikan nasibnya oleh majikan, berarti harus ditempatkan sebagai
kumpulan manusia yang digagalkan sebagai 'manusia' oleh perusahaan atau
komunitas pemilik modal.
Mereka (buruh) kesulitan
mendapatkan hak kesejahteraan akibat sepak terjang elemen strategis korporasi
yang menempatkan dirinya sekedar menjadi 'pencari' dan pemburu nafkah (upah),
dan bukan sebagai elemen fundamental yang menentukan keberlanjutan hidup dan
progresivitas korporasi. Jika korporasinya mengemas sikap monologis seperti
itu, rasanya orang miskin seperti buruh di negeri ini akan tetap berada dalam
'lingkaran setan' ketidakberdayaan atau cengkeraman keterpurukan,
ketidaksejahteraan, dan ketidakmanusiawiannya.
Mereka akan kesulitan menemukan
jalan yang memanusiakan atau menyejahterakan dirinya akibat tangan humanistik,
yang seharusnya menyejahterakannya, justru lebih memilih lebih mengutamakan
keselamatan dirinya sendiri. Dhus, elemen strategis korporasi wajib menggunakan
nalar cerdas dan humaniatasnya dalam membaca kondisi riil kehidupan buruh,
pasalnya puluhan juta orang miskin, yang di dalamnya ada elemen buruh, masih
kesulitan membebaskan dirinya dari 'jajahan' dan 'rajaman' kefakiran atau
kepapan ekonomi.
Mereka (buruh) yang seharusnya
dimanusiakan dan diberikan atmosfer oleh korporasi untuk menjadi mitra atau
sesama yang hidup berkelayakan, kini benar-benar sedang atau telah sekian lama
dihadapkan pada realitas memilukan.
Laporan Bank Dunia terbaru
menunjukkan, sebagian besar penduduk miskin di Asia Tenggara tinggal di
Indonesia. Lebih dari 110 juta orang Indonesia hidup dengan penghasilan kurang
dari 2 dolar AS atau kurang dari Rp 19.000 per hari. Jumlah orang sebanyak itu
sama dengan total penduduk Malaysia ditambah seluruh penduduk Vietnam dan
Kamboja. (Halim Imawan, 2011)
Laporan Bank Dunia tersebut
seharusnya menjadi bahan refleksi oleh korporasi, bahwa penderitaan yang
dialami oleh buruh (orang miskin), merupakan realitas yang menjadi proyeksi
kewajiban berbasis kemanusiaan yang harus diwujudkannya. Buruh menempati ranah
mengenaskan atau menyejahterakan, tak bisa dilepaskan dari kebijakan makro
perusahaan. Ketika krisis ekonomi, misalnya, dikalkukasi sebagai ancaman serius
keberlanjutan hidup korporasi maka korporasi akan berusaha keras untuk tidak
tergesa-gesa membebankan kesulitannya kepada buruh.
Memang, selama ini mencuat asumsi
bahwa negara sedang kehilangan keberdayaan dan kecerdasannya saat berhadapan
dengan korporasi besar, meski korporasi ini jelas-jelas menciptakan petaka
nasional maupun disinyalir sering memolitisasi hak-hak buruh. negara menjadi
ciut nyali saat berhadapan dengannya akibat politik 'kedermawanan' yang diduga
mengalir padanya. Inilah yang pernah diingatkan Aristoteles, bahwa semakin
tinggi penghargaan manusia terhadap kekayaan, maka semakin rendahlah
penghargaan manusia terhadap nilai-nilai kemanusiaan, kejujuran, keadilan, dan
kepatutan.
0 komentar:
Posting Komentar